IBN TAIMIYYAH

Posted: Januari 28, 2010 in Sejarah Pemikiran Islam
Tag:, ,

Pendahuluan

Ibn Taimiyyah adalah seorang tokoh pembaharu dalam Islam, yang pemikiran-pemikirannya bertujuan mengembalikan pemahaman ajaran Islam sesuai dengan al-Qur’an dan al-Hadits dan sesuai dengan pemikiran ulama salaf. Pemikirannya meliputi berbagai bidang kajian agama, baik  aqidah, syari’ah, falsafah dan tasawuf. Tulisan-tulisannya sudah dihimpun dalam berbagai buku dan tersebar secara luas, dikaji oleh para ulama maupun peneliti.

Dalam tulisan ini dibicaraka tentang riwayat hidup, corak pemikiran Ibn Taimiyyah, karya-karyanya, sebagai seorang pejuang, kedudukan dan maqamat, dan masalah wali.

  1. Biografi

Nama asli beliau adalah Taqqyiddin Abu Abbas Ahmad ibn Abdul Halim ibn Abd al Salam bin Abdullah ibn  Muhammad ibn Taimiyyah, populer dengan nama ibn Taimiyyah. Beliau lahir tanggal 10 Rabiul Awwal 661 H / 22 Januari 1263 M di Harran dekat Damascus Syiria dan meninggal dunia tanggal 20 Dzulqaidah 727 H / 26 September 1328 M . Keluarganya hijrah ke Damaskus ketika beliau berusia 7 tahun. Ayahnya Syaikh Syihabuddin Abu Ahmad Abdul Halim bin Abdul Salam bin Abdullah  bin Taimiyyah  seorang hakim, khatib yang wara[1]. Kakeknya Syaikh Majduddin Abul Barakat Abdul Salam bin Abdullah bin Taimiyyah Al Harani[2]. Beliau berasal dari keluarga terpelajar, dan mempunyai kedudukan yang terhormat khususnya di kalangan ulama dan pengikut madzhab Hambali.

Ketika tentara Mongol menyerang Siria keluarga Ibn Taimiyyah meninggalkan Haran pindah ke Damaskus  pada usia 7 tahun. Beliau belajar dari ayahnya berbagai ilmu pengetahuan.Sistem pengajarannya tidak melalui catatan atau buku – buku atau perangkat lainnya tetapi melalui intuitif . Atau mungkin kehebatan ayahnya dalam mengajarkan kepada Ibn Taimiyyah sehingga potensi yang ada padanya bisa dimaksimalkan.Setelah itu beliau belajar  kepada kakeknya seorang yang terpandang , ahli fiqih, ushul fiqih, ahli hadits dan tafsir[3]. Guru – gurunya selain ayahnya dan kakeknya antara lain Syamsuddin al-Maqdisi yang bermadhab Hambali, Ibn Abil Yusr, Al-Kamal bin Abdul Majid bin Asakir, Yahya ibn Syairafi dan yang lainnya.  Beliau mempunyai daya ingat yang kuat di usia 10 tahun sudah hapal Al-Qur’an . Di usianya kurang lebih 20 tahun beliau  menggantikan ayahnya yang telah meninggal dunia mengajar hadits di berbagai madrasah terkemuka di Damaskus dan memberikan pelajaran tafsir Al-Qur’an di Masjid Jami Damaskus.

  1. Karya – karyanya

Ibnu Taimiyyah dikenal sebagai penulis yang produktif, diantara karangannya antara lain :

  1. 1. Al Aqidah al Hamawiyyah al Kubra
  2. 2. Bayan Mujmal an Ahlil Jannah wan Nar
  3. 3. Kitab al Nubuwwah
  4. 4. Risalah fil al Qado wan Qodar
  5. 5. Risalah al Jihad
  6. 6. Majmu Rasail al Kubra
  7. 7. Majmu al Fatawa
  8. 8. Majmu Rasail Ibn Taimiyyah
  9. 9. Al Risalah al Wasitiyyah
  10. 10. Qoidah fil al Ibadah
  11. 11. Risalah fi al Suluk
  12. 12. Al Siasah al Syar’iyyah fi Islah al Ra’i war Ra’iyyah
  13. 13. Al Hisbah fi al Islam
  14. 14. Minhaj al Sunnah al Nabawiyah fi Naqd Kalam al Syi’ah wal Qadariyyah
  15. Tafsir Furqan baina Waliyyu al Rahman wa Waliyyu al Syaiton[4] dan lain-lain.
  16. Sebagai seorang mujahid.

Ibn Taimiyah bukan hanya ulama yang besar, tapi beliau juga sebagai seorang mujahid yang ikut berperang melawan tentara Mongol. Pada tahun 700 H, ketika Syam dikepung tentara Mongol beliau segera mendatangi walikota Syam guna memecahkan segala kemungkinan yang terjadi. Dengan mengemukakan ayat al-Qur’an meliau membangkitkan keberanian untuk membela tanah air menghalau musuh. Pada tahu 702 H, beliau terjun ke medan perang Syuquq, bersama tentara Mesir berperang melawan tentara Mongol dan dengan semangat yang tinggi berhasil mengusir tentara Mongol.

  1. Corak Pemikiran Ibn Taimiyyah

Pemikiran – pemikiran Ibn Taimiyyah bertujuan mengembalikan pemahaman keagamaan umat Islam sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits sebagaimana yang dijalankan ulama salaf, yaitu generasi Nabi, sahabat, dan tabiin, yang merupakan generasi utama, sebagaimana disebutkan dalam hadits “ Sebaik-baiknya generasi ialah generasi ketika aku diutus, kemudian generasi sesudahnya, dan generasi sesudahnya”.[5] Hal ini karena ulama salaf adalah generasi yang dilihat dari kurun waktunya adalah yang paling dekat dengan jaman Rasulullah tentu  mereka adalah generasi yang paling mengetahui ajaran agama.

Kebalikan dari generasi salaf adalah generasi khalaf, yaitu genersi yang hidup kemudian, sesudah  tiga genersi yang pertama tersebut di atas. Metode berpikir ulama salaf adalah lebih mengutamkan al-riwayah (tradisi) daripada al-dirayah (pemikiran), dan lebih mendahulukan naql ( al-Qur’an  dan al-Hadits ) dari pada      aql ( pemikiran rasional ). Ibnu Taimiyyah ingin mengembalikan kemurnian agama Islam kepada ketauhidan, beliau banyak mengkeritik perbuatan umat Islam yang dilihat pada masa itu, di antaranya beliau mengkritik tentang tawassul atau wasilah di dalam berdoa kepada Allah, atau mengkeritik orang berziarah ke makan wali dengan tujuan tertentu bukan sekedar berziarah untuk mengingat kematian.

  1. Kedudukan dan Maqamat menurut Ibn Taimiyyah
  1. Taubat

Taubat merupakan cara yang dilakukan oleh orang berdosa agar Allah mengampuni dosanya. Agar taubat diterima oleh Allah maka ia harus meninggalkan perbuatan dosa, berniat tidak akan mengulangi kembali perbuatan dosa tersebut, banyak – banyak beristigfar kepada Allah dan banyak melakukan kebajikan utuk menghapus perbuatan salahnya di masa lalu. Sesungguhnya taubat itu membersihkan seseorang dari dosa dan kesalahannya dan salah satu cara agar dicintai Allah SWT[6].

Beliau menukilkan sebuah ayatان الله يحب التوابين و يحب المتهرين bahwa Allah itu menyukai orang yang bertaubat dan orang yang mensucikan dirinya.

  1. Mahabbah

Ibn Taimiyyah menekankan pentingnya cinta kepada Allah dengan merujuk kepada ayat al-Qur’an t‘°! ${6ãm ‰x©r& (#þqãZtB#uä ûïɋ©9$#ur artinya dan orang – orang yang beriman mereka sangat mencintai Allah.[7] Menurur Ibn Taimiyyah cinta itu terbagi beberapa tingkatan [8].

Tingkatan pertama al-‘alaqah, yaitu adanya ikatan antara yang mencintai dengan yang dicintai.

Tingakatan ke dua, al-shababah yaitu mencurahkan perhatian kepada yang dicintai.

Tingkatan ke tiga, al-gharam atau al hub al-lazim yaitu selalu teringat kepada yang dicintai.

Tingkatan ke empat,  al-‘isyq yaitu rindu kepada yang dicintai.

Tingkatan ke lima al-tatayyum yaitu pengabdian diri kepada yang dicintai.Tingkatan ke lima adalah tingkatan cinta yang paling tinggi. Semakin tinggi cinta manusia kepada Allah maka semakin tinggi / banyak ibadahnya kepada Allah.

Cinta kepada Allah hendaknya melahirkan perbuatan untuk mewujudkan perbuatan-perbuatan yang dicintai Allah. Orang yang mencintai Allah mencintai segala yang dicintai Allah dan membenci sesuatu yang dibenci Allah. Cinta kepada Allah mendorong kita untuk menunaikan segala yang diwajibkan lalu disempurnakan dengan sesuatu yang disunnahkan oleh Allah. Cinta kepada Allah juga harus menjadi pendorong untuk berjuang membela agama Allah ( jihad ), karena jihad mengandung arti memperjuangkan apa yang dicintai Allah, yaitu iman dan amal yang baik, dan mencegah yang dibenci oleh Allah, yaitu kekafiran, kefasikan dan ma’siyat kepada Allah. Berjuang untuk membela agama Allah adalah perbuatan yang paling disukai oleh Allah dan merupakan bukti dari cinta yang paling sempurna kepada Allah.

  1. Tawakkal kepada Allah

Ibnu Taimiyyah menekankan pentingnya tawakkal kepada Allah. Manusia hendaknya tawakkal kepada Allah, tidak bergantung kepada makhluk atau perbuatan . Perbuatan yang dilakukan oleh manusia hanyalah merupakan sebab bagi terjadinya sesuatu. Sebab tidak dapat berdiri sendiri dalam mewujudkan sesuatu, melainkan harus ada penentu. Penentu bagi keberhasilan usaha tidak lain adalah Allah. Oleh karena itu manusia harus berserah diri dan memohon pertolongan kepada Allah. Orang berharap kepada temannya, kerabatnya, ilmunya, harta bendanya atau lainnya tanpa melihat Allah, maka ia termasuk orang yang bertawakkal kepada sebab. Tidak ada seorangpun yang mengharapkan kepada makhluk kecuali sia-sia apa yang diharapkannya.

Tawakkal kepada Allah bukan berarti penyerahan diri secara pasif, melainkan harus disertai usaha dan minta pertolongan kepada Allah. Agama menyuruh manusia untuk menyembah Allah dan minta pertolongan kepada-Nya. Manusia hendaknya berusaha tanpa menyandarkan keberhasilannya kepada perbuatan yang dilakukan, tapi memandang usaha atau perbuatan itu sebagai sebab dan yang menentukan keberhasilan  adalah Allah.

  1. Sabar

Ibn Taimiyyah membagi sabar menjadi tiga tingkatan.[9]

Tingkatan pertama sabar dalam melaksanakan kewajiban misalnya dalam mendirikan salat, menuntut ilmu dan jihad semua itu perlu kesabaran dalam melaksanakannya.

Tingkatan kedua sabar dalam meninggalkan maksiyat  dan dosa dicontohkan oleh Ibn Taimiyyah dalam tingkatan ini seperti sabarnya N. Yusuf ketika digoda oleh wanita cantik dan N. Yusuf lebih memilih penjara daripada berbuat maksiat dan dosa kepada Allah.

Tingkatan ke tiga sabar dalam menghadapi musibah. Menurut Ibn Taimiyyah sabar yang paling tinggi adalah sabar dalam meninggalkan maksiat dan dosa, apalagi ada kesempatan dan mampu untuk melakukannya tapi ia memilih meninggalkan perbuatan dosa itu. Ibn Taimiyyah menukil sebuah maqalah dari Ali bin Abi Tholib

لا ايمان لمن لا صبر له[10]

artinya tidak beriman orang yang tidak mempunyai kesabaran.

  1. Ridha

Sebagaimana tawakkal ridha berkaitan dengan takdir Allah. Tawakkal kessadaran hati sebelum terjadinya takdir, sedangkan ridha merupakan keadaan hati setelah terjadinya takdir.Tawakkal timbul dari kesadaran manusia bahwa Allah yang menentukan terjadinya segala sesuatu. Ridha kesadaran bahwa apa yang ditetapkan Allah adalah perkara terbaik bagi dirinya, sesuai dengan ilmu Allah . Kesempuran ridha adalah dengan memuji Allah. Ridha juga berarti al-shabr al-jamil[11] ( sabar yang baik ). Sabar yang baik ialah ridha dengan apa yang telah ditentukan tanpa mengeluh kepada manusia.

  1. Fana’

Menurut Ibn Taimiyyah fana’ mempunyai tiga pengertian.

Pertama, fana’ al-iradah berarti fananya kehendak, suatu keadaan tidak menghendaki sesuatu kecuali yang dikehendaki oleh Allah.

Kedua, fana’ syuhudi yaitu hancurnya kesadaran terhadap dirinya. Fana’ Syuhudi merupakan keadaan yang dialami oleh para sufi yang kurang sempurna. Sufi yang mengalami fana’ syuhudi ialah orang –orang yang lemah hatinya. Keadaan mereka adalah sebagaimana keadaan ibu  Nabi Musa ketika ia berpisah dengan Nabi Musa  yang diceritakan dalam    al-Qur’an, “ sesungguhnya menjadi kosong hati ibu Nabi Musa, sehingga hampir saja ia menyatakan rahasia tentang Nabi Musa seandainya Kami tidak meneguhkan hatinya”.[12] Ibn Taimiyyah menjelaskan, yang dimaksud dengan menjadi kosong hati ibu Musa ialah kosong hatinya dari segala sesuatu keculi dari mengingat Nabi Musa. Dalam fana’ syuhudi sufi seseorang tidak merasakan, tidak menyaksikan kecuali Tuhan, sehingga terkadang ucapannya mengucapkan kata-kata mengaku sebagai Tuhan. Hal ini tidaklah menjadi dosa karena diucapkan di luar kesadaran. Namun demikian keadaaan yang dialami oleh mereka tidak boleh dijadikan sebagai teladan dalam kehidupan rohani.

Ketiga, fana’ wujudi, yaitu fana’ dalam arti fananya wujud ( fananya wujud semesta dalam wujud Tuhan ), ini ajaran sufi yang menganut paham hulul dan ittihad, hal ini karena para sufi tidak dapat membedakan antara Tuhan dan hamba. Misal seperti ini al Hallaj, ibn Arabi.

Ajaran sufi tentang fana yang dapat ditertima oleh Ibn Taimiyyah adalah fana’ al-iradah. Karena fana’ al-iradah adalah keadaan bahwa orang tidak menghendaki sesuatu kecuali yang dikendaki oleh Allah, fana al-iradah tidak berlawanan dengan baqa’ ( tetap dalam kesadaran ), sedangkan fana’ syuhudi dan fana’ wujudi kesadarannnya hilang seperti orang yang mabuk cinta.

  1. Tentang dzikir kepada Allah

Ibn Taimiyyah  menyuruh kepada manusia untuk berdzikir dengan dzikir yang benar yaitu sesuatu yang berdasarkan kepada al-Qur’an dan al-Hadits.Menurut beliau sebaik-baiknya dzikir adalah membaca al-Qur’an, membaca tasbih (yaitu bacaan subhanallah, Mahasuci Allah ), tahmid (yaitu bacaan  al-hamdulillah segala puji bagi Allah ), tahlil (yaitu bacaan  la ilaha illallah, tidak ada tuhan selain Allah ) dan takbir ( yaitu bacaan  allahu akbar, Allah Maha Besar ).[13] Dzikir yang baik adalah dengan menggunakan kalam yang tam  mufid tidak menggunakan isim mufrad misalnya dengan kata “ Hu” ( Dia ), “La huwa illa Huwa “ ( tiada Dia  kecuali Dia ). Dzikiri-dzikir semacam di atas (“ Hu atau , “La huwa illa Huwa “ ) yang banyak dipakai oleh kaum sufi tidak ada dasarnya dalam ajaran agama bahkan beliau mengatakan bid’ah.

Ibn Taimiyyah sebagai ulama salaf, memegang teguh suatu prisip bahwa ibadah yang benar adalah ibadah yang diajarkan oleh Rasulullah selain itu adalah bid’ah. Beliau menekankan bahwa penyucian hati mesti disertai dengan takwa, yaitu melaksanakan perintah Allah dan menjauhhi larangan-Nya. Pekerjaan ibadah yang ditempuh dengan tujuan penyucian hati, termasuk dzikir kepada Allah harus mengikuti tuntunan yang diajarkan oleh Rasulullah saw.

G. Tentang Wali

Kata wali atau auliya seperti kata-kata yang baik seperti al-muttaqun, al-mu’minun, al-muslimun, al-muflihun dan sebagainya disebutkan di dalam al-Qur’an, tapi kata-kata tersebut tidak populer seperti kata wali. Hal ini karena kata wali yang terdapat di dalam al-Qur’an kemudian diadopsi oleh sebuah institusi yang bernama tasawuf sehingga menjadi populer dalam masyarakat  bahkan wali merupakan mempunyai  kedudukan yang tinggi / istimewa dalam masyarakat.

Derajat kewalian bisa dicapai dengan melaksanakan segala perintah Allah baik yang wajib maupun yang sunnah dan menjauhi semua yang dilarang dengan sungguh-sungguh dan  istiqamah . Kedudukan wali berada dibawah derajat Rasul dan Nabi. Sedangkan kedudukan Rasul yang afdhal adalah ulul ‘azmi. Yang termasuk dalam ulul ‘azmi yaitu N. Nuh, N. Ibrahim, N.Musa, N. Isa,                   N. Muhammad saw. Kedudukan ulul ‘azmi yang terafdhal adalah N. Muhammad saw  hal ini karena beliau penutup para Nabi, imam para nabi bila mereka berkumpul, pemberi syafaat di hari qiyamat dan syariatnya merupakan yang paling afdhal dibandingkan agama-agama sebelumnya.[14]

Dalam kewalian ada beberapa tingkatan yaitu[15] :

  1. 1. Wali Aqthab atau Wali Quthub

Memimpin dan menguasai para wali di seluruh dunia. Jumlahnya hanya seorang pada setiap masa. Jika wali ini wafat, maka seorang Wali Quthub lain yang menggantikannya.

  1. 2. Wali Aimmah

Pembantu Wali Quthub. Mereka akan menggantikan Wali Quthub sekiranya dia meninggal. Jumlahnya dua orang dalam satu-satu masa.

  1. 3. Wali Autad

Jumlahnya empat orang. Berada di empat wilayah penjuru mata angin, yang masing-masing menguasai wilayahnya. Pusat wilayah berada di Ka’bah. Kadang-kadang dalam Wali Autad terdapat juga wanita.

  1. 4. Wali Abdal

Abdal maksudnya pengganti. Dinamakan demikian karena jika meninggal di suatu tempat, mereka akan menunjukkan penggantinya. Jumlah Wali Abdal sebanyak tujuh orang, yang menguasai tujuh iklim. Pengarang kitab Futuhatul Makkiyah dan Fushus Hikam yang terkenal itu, mengaku pernah melihat dan bergaul baik dengan ketujuh-tujuh Wali Abdal di Makkatul Mukarramah.

  1. 5. Wali Nuqaba’

Jumlah mereka sebanyak 12 orang pada sesuatu masa. Allah memahamkan mereka tentang hukum syariat. Kononnya jika Wali Nuqaba’ melihat bekas telapak kaki seseorang di atas tanah, mereka tahu apakah jejak orang alim atau bodoh, orang baik atau tidak.

  1. 6. Wali Nujaba’

Jumlahnya mereka sebanyak 8 orang dalam sesuatu masa.

  1. 7. Wali Hawariyyun

Berasal dari kata hawari, yang berarti pembela. Ia adalah orang yang membela agama Allah, baik dengan argumen maupun senjata. Pada zaman Nabi Muhammad, Hawari itu adalah Zubair bin Awwam. Allah menganugerahkan kepada Wali Hawariyyun ilmu pengetahuan, keberanian dan ketekunan dalam beribadah.

  1. 8. Wali Rajabiyyun

Dinamakan demikian, karena karamahnya selalu muncul dalam bulan Rajab. Jumlah mereka sebanyak 40 orang. Terdapat di pelbagai negara dan antara mereka saling kenal- mengenal. Wali Rajabiyyun dapat mengetahui batin seseorang. Apabila bulan Raab berakhir, mereka akan kembali ke posisinya semula. Jika mereka seorang pedagang, maka akan kembali meneruskan pekerjaannya sehari-hari sebagai pedagang.

  1. 9. Wali Khatam

Khatam berarti penutup. Jumlahnya hanya seorang pada sesuatu masa. Wali Khatam bertugas menguasai dan mengurus wilayah kekuasaan ummat nabi Muhammd saw.

Selanjutnya Ibn Taimiyyah membagi wali kepada dua bagaian, yaitu wali Allah dan wali syaitan.

Siapakah  Wali Allah itu ?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah  berkata: “Wali Allah adalah orang yang beriman dan bertakwa[16].” Dalam kesempatan lain beliau  berkata: “Mereka adalah orang-orang yang beriman dan ber-wala’ (loyal) kepada Allah . Mereka mencintai apa-apa yang dicintai-Nya, membenci apa-apa yang  dibenci-Nya, ridha terhadap apa-apa yang diridhai-Nya, murka terhadap apa-apa yang dimurkai-Nya, memerintahkan kepada apa-apa yang diperintahkan-Nya, mencegah apa-apa yang dicegah-Nya, memberi kepada orang yang Dia cinta untuk diberi, dan tidak memberi kepada siapa yang Dia larang untuk diberi.”

Dalil al-Qur’an yang menyebutkan tentang wali Allah, diantaranya Q.S. Yunus :62

Iwr& žcÎ) uä!$uŠÏ9÷rr& «!$# Ÿw ê’öqyz óOÎgøŠn=tæ Ÿwur öNèd šcqçRt“øts† ÇÏËÈ

“Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”

Siapakah Wali Syaitan?

Wali syaitan adalah dan orang-orang yang tidak mematuhi anjuran Allah ,orang-orang yang menyalahi    Al Qur’an dan As Sunnah. Mereka adalah ahli bid’ah, berdoa kepada selain Allah, memukul tubuh mereka , dengan besi, memakan api dan (perbuatan) lainnya dari amalan-amalan orang Majusi dan syaitan.” Allah telah menjelaskan   dalam Al Qur’an dalam banyak ayat tentang ciri-ciri dan sifat mereka, serta apa         yang    diperbuat         oleh     tentara-tentaranya mengingkari kemahatinggian Allah. . Adapun dalil adanya wali syaitan yaitu

Q.S. al-Nisa :76

tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä tbqè=ÏG»s)ム’Îû È@‹Î6y™ «!$# ( tûïÏ%©!$#ur (#rãxÿx. tbqè=ÏG»s)ム’Îû È@‹Î6y™ ÏNqäó»©Ü9$# (#þqè=ÏG»s)sù uä!$u‹Ï9÷rr& Ç`»sÜø‹¤±9$# ( ¨bÎ) y‰øŠx. Ç`»sÜø‹¤±9$# tb%x. $¸ÿŠÏè|Ê ÇÐÏÈ

“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu, Karena Sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah.”

Sebagaimana Rasul yang diberi mu’jizat, walipun Allah anugerahakan kelebihan yang biasa disebut dengan karamah. Dalam pendangan masyarakat seorang wali sering dipahami sebagai orang yang mempunyai karamah., dalama arti ia dapat mengetahiu perkara yang ghaib atau menciptakan sesuatu yang luar biasa diluar kebiasaan manusia. Menurut Ibn Taimiyyah, kebesaran wali bukan karena karamah.nya dalam arti tersebut di atas, tetapi karena ketulusan imannya kepada

Allah dan sungguh-sunggauh dalam menjalankan perintah Allah. Oleh karena itu orang mu’min tidak diperintah untuk mencari karamah., melainkan diperintah untuk meninggkatkan istiqamah dalam menjalankan perintah Allah. Mengutip Abu ‘Ali al-Jawzani, Ibn Taimiyyah berkata: “ Hendaklah kamu mencari istiqamah, bukan mencari karamah.. Sesungguhnya jiwamu terdorong oleh keinginan untuk mencari karamah. sedangkan Tuhanmu menyuruh agar kamu senantiasa dalam istiqamah.[17]

  1. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa Ibn Taimiyyah adalah seorang mujaddid yang ingin mengembalikan ajaran Islam kepada            al-Qur’an dan al-Hadits. Pemikiran beliau didasari kepada banyaknya perbuatan orang Islam saat itu  yang dinilai oleh Ibn Taimiyyah sudah menyimpang dari ajaran Islam. Disamping itu Ibn Taimiyyah juga seorang pejuang yang ikut berperang melawan musuh yang menyerang  kota Mesir pada waktu itu. Ibn Taimiyyah juga adalah penulis yang produktif hal ditandai dengan banyaknya tulisan – tulisannya yang kita jumpai sekarang.

Disamping sebagai pemikir Ibn Taimiyyah juga sebagai seorang tawauf. Tapi tasauf yang diingini olehnya adalah yang berdasar kepada al-Qur’an dan al-Hadits. Dalam masalah kewalian Ibn Taimiyyah menekankan kepada keistiqamahan dalam menjalan semua diwajiban oleh Allah dan menyempurnakan dengan menjalankan ibadah-ibadah yang disunnatkan. Menjauhi yang makruh, subhat apalagi jelas telah diharamkan dalam ajaran agama. Bukan untuk mengejar kekaramahan. Karamah adalah pemberian Allah SWT yang diberikan kepada hambanya yang beriman, bertaqwa.

BIBLIOGRAFI

Hilmi, Mushtofa. Ibn Taimiyyah wa al-Tashawuf. Iskandariyah: Darul al-Da’wah,t.t.

Ibn Taimiyyah. Al-Furqan Bayn Awliya Allah wa Awliya al-Syaitan. Bairut: Maktab al-Islami, cet. 4, t.t.

___________,. Ilmu Hadits: Bairut, cet. 2, 1989

Ilyas, Hamim. Studi Kitab Tafsir.Yogyakarta: Teras, cet.1, 2004

Musa, Muh. Yusuf. Ibn Taimiyyah. Mesir: Tsaqafah wa  al-Irsyad. t.t

Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, cet. 9, 1992

Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Bulan Bintang, cet.2, 1985


[1] Muhammad Musa Yusuf,Ibnu Taimiyyah (Mesir:Al Muassasah Al Misriyah Al Amiyah 1962), hal.66

[2] Ibid. hal 67

[3] Ibid. hal 68

[4] Hamim Ilyas,Studi Kitab Tafsir,(Yogya, Teras,Cet. Ke 1 2004), hal.82-83

[5] Ibn Taimiyyah, Madzhab Ahl al-Madinah (Beirut:Dar al-Da’wah t.t ) hal,19

[6] Mushtofa, Ibn Taimiyyah wal Tashawuf (Iskandariyah: Darul al-Da’wah t.t), hal.492

[7] Q.S. Al-Baqarah : 165

[8] Mushtofa, Ibn Taimiyyah wal Tashawuf (Iskandariyah: Darul al-Da’wah t.t), hal.494

[9] Mushtofa, Ibn Taimiyyah wal Tashawuf (Iskandariyah: Darul al-Da’wah t.t), hal.504

[10] Ibid, hal. 505

[11] Ibid

[12] Q.S. al-Qashash :10

[13] Mushtofa, Ibn Taimiyyah wal Tashawuf (Iskandariyah: Darul al-Da’wah t.t), hal. 515

[14] Mushtofa, Ibn Taimiyyah wal Tashawuf (Iskandariyah: Darul al-Da’wah t.t), hal. 396-397

[15] Ibid, hal. 397, lihat juga http://www.al-ahkam.net/home yang direkam pada 22 Nov 2007

[16] Ibid, hal.396

[17] Ibid, hal. 403

Tinggalkan komentar